Selasa, 28 April 2009


Gunung Fuji


Fuji-san terkenal akan keindahan bentuknya. Ada banyak gunung tinggi di seluruh dunia, bahkan banyak yang lebih tinggi. Tapi bentuknya yang begitu ‘rapi’, sangat jarang ditemui. Fuji-san adalah sebuah puncak tunggal, di kanan kirinya tidak ada puncak-puncak lain. Bentuknya seperti gambar pemandangan yang dilukis anak kecil. Segitiga sempurna yang menjulang dari garis horison bumi. Puncaknya selalu diselimuti salju. Salju terakhir dari musim dingin tahun sebelumnya dan salju pertama dari musim dingin berikutnya, susul menyusul.


Keindahan Fuji-san sudah sering diabadikan sejak dahulu kala. Katsushika Hokusai, pelukis terkenal di jaman Edo, mabuk oleh keindahannya dan membuat tiga puluh enam lukisan berseri yang kesemuanya menyombongkan keanggunan gunung ini. Ada wajah Fuji-san yang memerah, memantulkan sinar matahari sore, ada Fuji-san kecil yang tersembunyi di balik gelora ombak, dan ada pula Fuji-san yang mengawasi para petani bekerja, layaknya seorang mandor yang tidak pernah lalai. Seri lukisan ini rampung pada tahun 1831. Namun karena begitu digemari, Katsushika Hokusai menambahkan lagi sepuluh lukisan ke dalam seri ini. Lukisan-lukisan ini mengalir ke Eropa dan memberikan pengaruh pada musisi besar Claude Debussy dan pelukis kenamaan Van Gogh dalam berkarya.

Pemerintah Daerah Shizuoka dan Yamanashi Perfecture mencoba mendaftarkan Fuji-san ke UNESCO untuk memperoleh gelar World Nature Heritage atau Warisan Alam Dunia. Namun kondisi alam Fuji-san yang kotor membuat namanya tercoreng dari daftar kandidat pada tahun 2003. Enggan menyerah, Fuji-san kembali didaftarkan pada kategori yang berbeda. Pada tahun 2007, Fuji-san resmi menyandang label World Culture Heritage atau Warisan Budaya Dunia. Fakta bahwa Fuji-san merupakan tempat sakral bagi nenek moyang bangsa Jepang diakui dunia.

Sejujurnya, Fuji-san memang tidak layak dimasukkan ke dalam Warisan Alam Dunia. Kepopulerannya menenggelamkan. Pengunjung yang begitu banyak telah menodai Fuji-san. Pada tahun 2007, tidak kurang dari 180 ribu pendaki yang menjejakkan kakinya di sana. Bayangkan betapa banyaknya sepatu yang menggunduli rumput yang dilewati.

Pendakian ke puncak Fuji-san tidak sama dengan pendakian ke puncak-puncak gunung di Indonesia yang relatif lebih perawan. Di Gunung Papandayan ada area perkemahan. Di Fuji-san kita bisa bermalam di penginapan. Di Gunung Lawu kita harus membakar kayu untuk menghangatkan diri. Di Fuji-san ada pemanas dengan bahan bakar minyak tanah. Di Gunung Ciremai energi pendaki dikuras oleh kontur gunung yang naik turun. Di Fuji-san ada tangga.

Ada gula ada semut. Fuji-san terlalu komersil. Untuk duduk dan menikmati hangatnya pemanas pun kita harus bayar. Tarifnya lebih murah sedikit dibanding kalau kita ingin berbaring di tikar. Untuk ke WC umum pun kita harus merogoh kocek. Kadang, kekejaman alam kadang membuat pendaki kehilangan nyali dan ingin bersembunyi sebentar dalam bangunan yang ada. Tapi tidak jarang mereka malah disambut dinginnya manusia. Penginapan penuh ! Tidak ada tempat ! Makanan hanya untuk tamu menginap !

Di lain pihak, keberadaan manusia yang begitu banyaknya membuat pengelola penginapan berusaha lebih bersahabat dengan alam. Kita bisa menemukan WC umum yang tidak menggunakan air sama sekali. Limbah kotoran didaur ulang oleh mikroba tanpa mengumbar bau tak sedap. Kearifan lingkungan khas Jepang.

Semakin dekat ke puncak, jalur pendakian semakin menyempit. Dari pos 9 ke atas, pendaki harus menaklukkan tangga yang sempit dan curam. Tentu saja bisa menyalib lewat sayap kanan dan kiri, tapi medan berpasir yang licin membuat para pendaki yang sudah kelelahan rela mengantri di tangga. Terdengar aneh memang, tapi begitulah kenyataannya. Pada peak season, tidak mustahil kalau para pendaki harus berdiri di tempat dan mengantri untuk maju dengan hidung menempel pada ransel pendaki di depannya.

Terlalu tereksploitasi. Itulah Fuji-san. Tapi mungkin begitu lebih baik. Daripada terlupakan dan diabaikan.

(gambar: salah satu karya Katsushika Hokusai)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar